Human Papillomavirus Sebagai Penyebab Kanker Serviks
1.1 Human
Papilomavirus (HPV)
Gambar 1.Human Papiloma
Virus
Virion : Ikosahedral , diameter 55 nm
Komposisi : DNA (10 %), Protein (90 %)
Genom : DNA untai ganda, sirkular, BM 5 juta, 8 kbp
Protein : 2 protein endera; histon selular
mengondensasi DNA di dalam virion
Selubung : Tidak ada
Replikasi : Nukleus
Karakteristik yang menonjol:
Menstimulasi sintesis DNA sel
Kisaran pejamu dan tropisme
jaringan terbatas
Penyebab bermakna kanker pada
manusia, khususnya kanker serviks
Papovavirus merupakan virus kecil ( diameter
45-55 nm ) yang mempunyai genom beruntai ganda yang sirkuler diliputi oleh
kapsid (kapsid ini berperan pada tempat infeksi pada sel) yang tidak
berpembungkus menunjukkan bentuk simetri ikosahedral. Berkembang
biak pada inti sel menyebabkan infeksi laten dan
kronis pada pejamu alamiahnya dan dapat menyebabkan tumor pada beberapa
binatang (Contoh : Virus Papilloma
manusia (kutil), Virus BK (diasingkan
dari air kemih penderita yang mendapat obat-obat imunosupresif)).
Mekanisme infeksi virus diawali dengan protein
menempel pada dinding sel dan mengekstraksi semua protein sel kemudian protein sel itu ditandai
(berupa garis-garis) berdasarkan polaritasnya. Jika polaritasnya sama denagn polaritas virus maka, dapat
dikatakan bahwa sel yang bersangkutan terinfeksi virus. Setelah itu, virus
menginfeksikan materi genetiknya ke dalam sel yang dapat menyebabkan terjadinya
mutasi gen jika materi ender virus ini bertemu dengan materi ender sel. Setelah
terjadi mutasi, DNA virus akan bertambah banyak seiring pertambahan jumlah DNA
sel yang sedang bereplikasi. Ini menyebabkan endera (pertumbuhan sel yang tidak
normal) jadi bertambah banyak dan tak terkendali sehingga menyebabkan kanker.
1.2 Kanker Serviks
Kanker serviks adalah tumor
ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner
junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim,
suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ender
rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker
leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari
kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10%
sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil ender pada saluran servikal yang
menuju ke rahim.
Gambar
2. Kanker Serviks
Kanker seviks uteri
adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum
terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau
neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyebab utama kanker leher rahim adalah
infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah
dapat teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan
seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker,
sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi
maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel
tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu kanker.
Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual adalah
tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, dan
mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16
dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV risiko rendah
adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah aspartat pada HPV
risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan sedang (Gastout et al,
1996).
1.2.1
Faktor Risiko Kanker Rahim
Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks
yaitu:
• Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi
terhadap kanker leher rahim. Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat
risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim
pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya
waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh
akibat usia.
• Usia pertama kali menikah. Menikah pada
usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan
berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang
menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah
seorang wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari
sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa
yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel
mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang
wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila
dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel
mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang.
Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima
rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih
rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker
selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya
rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga
perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat
menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas
20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan.
•Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi,
dan sering berganti-ganti pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan
tertularnya penyakit kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus
ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih
banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker.
• Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian
vagina dengan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan
mengakibatkan iritasi di serviks yang merangsang terjadinya kanker.
• Wanita yang merokok. Wanita perokok
memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan
wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita
perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat
tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping meropakan ko-karsinogen
infeksi virus. Nikotin, mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi
atau menjadi terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun
serviks. Namun tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi
yang bisa menyebabkan kanker leher rahim.
1.3
Etiologi
dan Perjalanan Penyakit
Infeksi HPV risiko tinggi merupakan
faktor etiologi kanker serviks. Pendapat ini ditunjang oleh berbagai
penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh International Agency for Research
on Cancer (IARC) terhadap 1 000 sampel dari 22 negara mendapatkan
adanya infeksi HPV pada sejumlah 99,7% kanker serviks. Penelitian meta-analisis
yang meliputi 10 000 kasus didapatkan 8 tipe HPV yang banyak ditemukan, yaitu
tipe 16, 18, 45, 31, 33, 52, 58 dan 35. Penelitian kasus kontrol dengan 2 500
kasus karsinoma serviks dan 2500 perempuan yang tidak menderita kanker serviks
sebagai kontrol, deteksi infeksi HPV pada penelitian tersebut dengan
pemeriksaan PCR. Total prevalensi infeksi HPV pada penderita kanker serviks
jenis karsinoma sel skuamosa adalah 94,1%. Prevalensi infeksi HPV pada
penderita kanker serviks jenis adenokarsinoma dan adenoskuamosa adalah 93%.
Penelitian pada NIS II/III mendapatkan infeksi HPV yang didominasi oleh tipe 16
dan 18. Progresivitas menjadi NIS II/III setelah menderita infeksi HPV berkisar
2 tahun.
HPV yang merupakan faktor inisiator
dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Onkoprotein
E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi
keganasan. Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari
proses yang mengarah transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah
E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2
menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb.
Hambatan kedua TSG menyebabkan siklus sel tidak terkontrol, perbaikan DNA tidak
terjadi, dan apoptosis tidak terjadi. E6 akan mengikat p53 sehingga Tumor
suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan fungsinya, yaitu untuk
menghentikan siklus sel pada fase G1. Sedangkan onkoprotein E7 akan
mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F, yang merupakan
faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.
Penghentian siklus sel pada fase G1
oleh P53 bertujuan memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan
yang timbul. Setelah perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. p53
menghentikan siklus sel dengan cara menghambat kompleks cdk-cyclin yang
berfungsi merangsang siklus sel untuk memasuki fase selanjutnya. Jika penghentian
sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, maka sel
akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan
terus membelah dan berkembang tanpa kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai
perangsang apoptosis, yaitu proses kematian sel yang dimulai dari kehancuran
gen intrasel. Apoptosis merupakan upaya fisiologis tubuh untuk mematikan sel
yang tidak dapat diperbaiki. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan proses apoptosis
tidak berjalan.
Saegusa
et al5 yang meneliti peranan Bcl-2 mendapatkan peningkatan aktivitas imunologi Bcl-2 pada NIS III dibandingkan
dengan NIS I-II dan karsinoma invasif. Penelitian lain tentang Bcl-2 juga
mendapatkan penurunan aktivitas Bcl-2 pada karsinoma serviks. Keadaan ini menunjukan
bahwa penurunan aktivitas apoptosis pada karsinoma serviks disebabkan
peningkatan aktivitas dari antiapoptosis. Peningkatan Bcl-2 bukan berarti
terjadi penurunan aktivitas apoptosis, karena mekanisme apoptosis dikontrol oleh
banyak gen. Tetapi indeks apoptosis pada karsinoma sel skuamosa, pada
penelitian nampaknya justru menurun, dan ini dibuktikan oleh beberapa
penelitian. Pada penelitian juga dijumpai adanya penurunan beberapa keluarga
Bcl-2, antara lain Bak, caspase 3 dan caspase 6.
Protein
E7 menghambat proses perbaikan sel melalui mekanisme yang berbeda. Pada proses
regulasi siklus sel di fase Go dan G1 tumor suppressor gene pRb
berikatan dengan E2F ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif E2F merupakan
gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, dan
N-myc. Protein E7 masuk ke dalam sel dan mengikat pRb yang menyebabkan
E2F bebas terlepas, lalu merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc sehingga akan
terjadi proses transkripsi atau proses siklus sel. Kekuatan ikatan protein E7
dengan pRb berbeda-beda pada beberapa tipe virus HPV, misalnya: ikatan E7 HPV 6
dan 11 kurang kuat dibandingkan dengan HPV 16 ataupun 18. Penelitian yang
dilakukan pada pasien dengan karsinoma serviks di beberapa rumah sakit di
Indonesia menemukan bahwa kejadian infeksi HPV tipe 16 sebesar 44%, tipe 18 sebesar
39% dan tipe 52 sebesar 14%. Sisanya sebesar 14% terdeteksi infeksi HPV
multipel.Pada penelitian identifikasi tipe HPV pada adenokarsinoma, didapatkan
bahwa prevalensi HPV pada adenokarsinoma jenis musinosum, intestinal,
endometrioid adalah 91% dan jenis adenoskuamosa 100%. Sedangkan pada subtipe nonmusinous,
clear cell, serous dan mesonefrik tidak dijumpai infeksi HPV. Kejadian
HPV tipe 16, 18, 45, 52, dan 35 adalah berturut-turut 50%, 40%, 10%, 2% dan 1%.
HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sejumlah 70% kanker serviks, sedangkan tipe
16, 18, 33, 45, 31, 58, 52, dan 35 ditemukan pada sejumlah 90% kanker serviks.
Tiga belas tipe HPV (16, 18, 31, 58, 33, 52, 35, 51, 56, 45, 39, 66, 6), pada
metaanalisis, dijumpai pada HSIL. Pada LSIL ditemukan HPV tipe 16 (26%), 31
(12%), 51 (11%), 53 (10%). 56 (10%), 52 (9%), 18 (9%), 66 (9%), 58 (8%), dan
tipe lainnya 5%.
0 komentar:
Posting Komentar